Kamis, 22 September 2016

Agama Suku (Suku Karo) Cari tau tentang agama suku di Karo

BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Penyebaran injil yang tidak dapat terbendung lagi, menjadikan banyak orang berusaha untuk masuk kedalam suku-suku bangsa untuk meneybarkan kabar baik tersebut. Suku-suku bangsa yang notabenenya menyimpan banyak misteri dalam aliran kepercayaan mereka masing-masing sesuai dengan apa yang masyarakat yakini.
Sistem kepercayaan yang dimiliki oleh satu daerah (satu suku) berbeda dengan kepercayaan dari suku/daerah yang lainnya. Hal ini yang menjadikan para penyebar injil harus fokus dalam mengetahui apa sebenarnya yang menjadi sistem kepercayaan dari satu daerah/suku tertentu, serta kita juga harus mengetahui apa sebenarnya pengaryh dari sistem kepercayaan (agama) dari suatu daerah.
Tak dapat dipungkiri bahwa suatu daerah khususnya tanah karo (suku karo) memiliki suatu kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat tersebut. Apa yang menjadi kepercayaan dari masyarakat tersebut dipengaruhi oleh mitos-mitos yang terdapat di daerah tersebut. Suku karo adalah suku yang memilki banyak sekali sistem dalam adat istiadat yang ada, dalam sistem kepercayaan suku karo juga memiliki kepercayaan mereka sendiri. Tujuan dari semuanya itu adalah untuk menjadikan masyarakat karo hidup teratur, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh adat. Pengaruh dari keprcayaan tersebut bisa saja berdampak negatif.
Dalam bab selanjutnya penulis akan membahas sistem kepercayaan suku karo, pengaruh negatif dari agama suku karo serta langkah-langkah mengantisipasinya dan penanggulangannnya.



BAB II
SEJARAH SUKU KARO DAN KEBUDAYAAN SUKU KARO
A.      Suku Karo
Suku Karo adalah salah satu suku bangsa yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar dalam Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.
Karo dianggap sebagai bagian dari suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak Karo. Namun kebanyakan masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka bukanlah bagian dari kekerabatan Batak tersebut, tetapi Karo adalah suku yang berdiri sendiri.[1]
B.      Sejarah Suku Karo
Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo.
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
C.      Sistem Kekerabatan Suku Karo
Suku karo berdomisili di sumatera utara tepatnya di kresidenan sumatera utara pada jaman dahulu. Masyarakat karo menganut kekerabatan parental dan bilateral. Maksudnya, mereka mengikuti garis keturunan ayah. Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo, baik berdasarkan pertalian darah maupun pertalian karena hubungan perkawinan, dapat disatukan dari tiga jenis  kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak, dan anak beru, yang biasanya disimpulkan dalam banyak istilah tetapi maksudnya sama yaitu daliken sitelu. Secara etimologis, daliken sitelu ini berarti tungku yang tiga (daliken = batu tungku, si = yang, telu= tiga). Maksudnya adalah di kehidupan masyarakat karo ini pasti mereka tidak terlepas dari yang namanya tengku untuk menyalakan api (memasak). Sistem kekerabatan ini akan terlihat sama ketika kita melihat sistem kekrabatan suku batak toba. Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut.
Hubungan antara ketiganya tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat, dilihat dari aspek-aspek kehidupan secara mendalam, hubungan dari ketiga kekerabatan ini menentukan hak-hak dan kewajiban di dalam masyarakat, di dalam upacara-upacara, hukum, dan di zaman yang lampau dan mempunyai arti yang penting di dalam kehidupan ekonomi dan politik. Di dalam sangkep si telu inilah terletak azas gotong-royong, dan musyawarah dalam arti kata yang sedalam-dalamnya.Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu,senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.
1.       Kalimbubu
Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela.
Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati, perihal dilaksanakan atau tidak masalah lain.
2.       Anak Beru
Anak beru adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Oleh Darwan Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut.
3.       Senina/Sembuyak
Hubungan perkerabatan senina disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan.
Senina ini dapat dibagi dua :
a.       Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena satu clan (merga).
b.       Senina berdasarkan kekerabatan
-          Senina Siparibanen, perkerabatan karena istri saling bersaudara.
-          Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru (clan) ibu) yang sama.
-          Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.
-          Senina Secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka sesubclan (bersembuyak).[2]
D.      Marga
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:
  1. Karo-karo: Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, Sinuraya, Sinuhaji, Ketaren, dll. (berjumlah 18)
  2. Tarigan: Bondong, Ganagana, Gerneng, Purba, Sibero, dll. (berjumlah 13)
  3. Ginting: Munthe, Saragih, Suka, Ajartambun, Jadibata, Manik, dll. (berjumlah 16)
  4. Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi, dll. (berjumlah 15)
  5. Perangin-angin: Bangun, Sukatendel, Kacinambun, Perbesi, Sebayang, Pinem, Sinurat, dll. (berjumlah 18)
Keterangan: Total semua submerga adalah 84.
Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah di antara mereka.[3]
E.      Kegiatan adat Suku Batak Karo
Selain perkawinan ada juga kegiatan adat Batak Karo yang selalu diadakan minimal 1 tahun sekali, baik upacara besar atau upacara kecil. Kebanyakan upacara yang ada memakan waktu yang cukup lama dan juga biaya yang cukup mahal, karena perlengkapan yang harus disediakan dan persembahan yang biasanya menggunakan binatang-binatang besar seperti sapi, dll. Namun ada juga upacra memakan waktu singkat dan biaya kecil karena menggunkan binatang ber kaki 2 seperti ayam dan bebek, Beberapa Kegiatan adat antara lain,
Kegiatan Adat suku Batak Karo
1.       Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
2.       Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
3.       Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
4.       Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
5.       Ndilo Udan - memanggil hujan.
6.       Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
7.       Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
8.       Erpangir Ku Lau - penyucian diri (untuk membuang sial).
9.       Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
10.    Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
11.    Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
12.    Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.
13.    Upacara Upa Tendi
Upa secara bahasa diartikan pemberian. Sedangkan secara istilah adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa agar memperoleh kebaikan. Kata Upa ini senada dengan kata Upah- upah, Mangupa dan Pangupa yang arti dan maksudnya juga sama yaitu berhajat dan mendoakan orang yang di upa- upakan.
Sedangkan Tendi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tendi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
14.    Upacara Ritual Geriten
Pada masyarakat Karo dahulu, setelah orang meninggal, tidak langsung dikebumikan tetapi diadakan upacara adat kematiannya untuk menghormati jenazahnya. Jenazah dimakamkan disuatu tempat untuk sementara. Setelah beberapa tahun lamanya, makam digali kembali untuk mengambil tulang-tulangnya dan dikumpulkan dan kemudian dimakamkan di sebuah rumah yang disebut Geriten.
Ritual kuno dari suku Batak Karo merupakan tradisi suci yang sudah diterapkan berabad-abad lalu. Pada saat penggalian kubur dilakukan  upacara adat yang disebut nurun-nurun (upacara kematian).  Keluarga suku kembali ke kuburan leluhur mereka. Ritual dilakukan dengan menggali kembali kuburan, mengambil seluruh kerangka, membersihkan kerangka dengan wewangian (terdiri dari air kelapa,jeruk nipis, kapur dan rempah-rempah) sebelum meletakkannya dalam peti mati baru dan menempatkannya di Geriten.
 ritual ini dilakukan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada leluhur mereka. Tulang belulang dikeluarkan dari kuburan lama kemudian dipindahkan ke kuburan baru untuk menaikkan status dari leluhur mereka. Setelah kerangka diatur dalam peti itu kemudian ditempatkan ke dalam ‘rumah tengkorak’ yang dibangun khusus untuk acara keluarga dan berdoa bagi tulang. Jefri menjelaskan: “Ini adalah ritual yang sangat langka. Penghapusan tulang dari kuburan tua dilakukan untuk nenek moyang kehormatan dengan tindakan kasih. Tulang-tulang dikeluarkan dari kuburan yang telah ada waktu yang lama dan pindah ke sebuah kuburan baru, lebih baik. Ini adalah cara untuk menaikkan status dari nenek moyang.
15.    Upacara Erpangir Ku Lau
Erpangir ku lau dilakukan dikarenakan oleh beberapa hal, misalnya :Buang sial, yaitu untuk membuang hal-hal yang dianggap membawa dampak tidak baik dalam diri seseorang. Meminta kesembuhan penyakit, seseorang yang dihinggapi satu penyakit diyakini sebagai penyakit yang dibuat oleh manusia lain lewat perantaraan makhluk-makhluk halus, atau bias jadi karena makhlus halus itu sendiri (begu). Untuk penyembuhan salah satu cara pengobatan adalah dengan melakukan ritual erpangir ku lau;Menabalkan seseorang menjadi guru. Proses menjadi seorang guru juga harus melalui proses erpangir. Oleh sebab itu seseorang menjadi guru harus ditabalkan atau ditahbiskan dengan cara ipangiri oleh seorang guru juga.Permintaan begu singarak-ngarak seseorang. Seseorang yang mempunyai begu jabu biasa akan diurasi atau dibersihkan dari hal-hal yang tidak baik, caranya adalah dengan erpangir. Pembersihkan diri dari yang kotor, dll.
Biasanya pihak keluarga yang ingin melakukan erpangir ku lau adalah karena ada pirasat (gerek) dari seseorang bahwa ada yang tidak beres dalam tubuhnya.
Selain jenis-jenis upacara tersebut dilakukan dengan melibatkan anggota masyarakat, dalam masyarakat Karo juga biasa juga dikenal erpangir secara pribadi-pribadi. Erpangir jenis ini biasanya karena seseorang mempunyai keahlian khusus dalam berbagai bidang, misalnya sebagai sierjabaten (pemusik tradisional), lit pemetehna (ahli dalam bidang pengobatan, meramal, dan sebagainya). Jenis erpangir seperti ini tidak melibatkan unsur orang banyak, tetapi tergantung kepada hubungan individu-individu dengan roh yang menyatu dengan dirinya. Biasanya ditandai dengan gerek atau pertanda, bahwa roh yang melekat dalam diri seseorang memintanya untuk melakukan mandi ritual tersebut. Lokasi dan tempatnya biasanya sudah dipahami oleh masing-masing individu yang mempunyai kecakapan khusus tentang itu. Hal seperti ini biasanya disampaikan juga lewat nipi (mimpi).
Orang yang erpangir seperti ini biasa juga mandi ketika wari belah purnama raya, yaitu pada hari-hari ketika bulan purnama. Waktunya biasa dilakukan pada malam hari dan sendirian di sebuah sungai atau di tempat pemandian umum pada malam hari. Hal ini untuk menghindari proses erpangir tersebut agar tidak diganggu oleh orang lain.
 Erpangir jenis ini maknanya membersihkan diri dari hal-hal yang kotor yang dianggap tidak berkenan bagi roh pengikutnya yang dilakukan oleh individu tersebut selama ini. Jika tidak dilakukan pembersihan atau erpangir, maka diyakini roh-roh tersebut akan semakin jauh.[4]







BAB III
AGAMA SUKU KARO
A.    Kepercayaan
1.       Agama Pemena
Pemena adalah kepercayaan ataupun agama suku masyarakat suku Karo. Pemena, dalam Bahasa Karo, memiliki arti pertama atau yang awal. Pemena memiliki makna kepercayaan yang pertama, yang dipegang dan dipahami oleh orang Karo.
a)       Sejarah
Suku Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito).  Percampuran ini disebut umang.  Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang.  Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat.  Pada abad pertama setelah masehi, terjadi migrasi orang India Selatan ke Indonesia termasuk ke Sumatera. Mereka beragama Hindu.  Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta, Pallawa, dan ajaran dalam agama Hindu.  Pada abad kelima, terjadi pula gelombang migrasi india yang memperkenalkan agama Buddha dan tulisan Nagari. Tulisan Nagari akan menjadi cikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno.
Orang-orang dari India Selatan yang datang ke Tanah Karo memperkenalkan ajaran  Pemena. Pemena berarti pertama, yang artinya kepercayaan awal orang Karo. Mereka juga mengajarkan beberapa aksara, yang kemudian menjadi aksara Karo. Akhirnya, orang-orang Karo mulai mengenal agama ini dan menganutnya.
b)       Ajaran-Ajaran
-          Dibata
Masyarakat Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat, adalah merupakan ciptaan Dibata. Ada tiga pemahaman dibata menurut orang Karo, yakni:
  • Dibata Datas. Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa).
  • Dibata Tengah. Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
  • Dibata Teruh. Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah bumi.
Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu sinar mataniari (sinar matahari) dan si Beru Dayang. Sinar Mataniari adalah simbol cahaya dan penerangan. Ia berada saat matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Siberu dayang adalah seorang perempuan yang tinggal di bulan. Si beru dayang sering kelihatan dalam pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak digoncangkan angin topan.

-          Manusia

Manusia dalam kepercayaan masyarakat Karo terdiri dari:
  • Tendi (jiwa)
  • Begu (Roh orang yang sudah meninggal, Hantu)
  • Kula (Tubuh)
Ketika seseorang meninggal, maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur. Namun, begu tetap ada. Tendi dengan tubuh merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah dengan tubuh, maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan pemanggilan tendi.Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah kematian.
Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari alam semesta. Setiap manusia dianggap sebagai semesta kecil. Manusia merupakan kesatuan dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai `keseimbangan dalam manusia'.
Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar.Bentuk pemahaman ini menggambarkan manusia sebagai semesta besar.Manusia merupakan kesatuan dari dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam sekitar.Hal ini menunjukkan suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam semesta kecil tidak akan sempurna tanpa tercapainya suatu keseimbangan "alam semesta secara luas.Oleh karena itu, banyak orang Karo melakukan acara-acara adat dengan tujuan mencapai keseimbangan pada diri manusia.[5]

2.       Sipelebegu
Dalam hal alam pemikiran dan kepercayaan, orang Karo (yang belum memeluk agama Islam atau Kristen) erkiniteken (percaya) akan adanya Dibata (Tuhan) sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia.
Dibata ini disembah agar manusia mendapatkan keselamatan, jauh dari marabahaya dan mendapatkan kelimpahan rezeki. Mereka pun percaya adanya tenaga gaib yaitu berupa kekuatan yang berkedudukan di batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung, gua, atau tempat-tempat lain. Tempat inilah yang dikeramatkan. Dan apabila tenaga gaib yang merupakan kekuatan perkasa dari maha pencipta, dalam hal ini Dibata yang menguasai baik alam raya/langit, dunia/bumi, atapun di dalam tanah disembah maka permintaan akan terkabul. Karena itu masyarakat yang berkepercayaan demikian melakukan berbagai variasi untuk melakukan penyembahan.
Mereka juga percaya bahwa roh manusia yang masih hidup yang dinamakan “Tendi“, sewaktu-waktu bisa meninggalkan jasad/badan manusia. Kalau hal itu terjadi maka diadakan upacara kepercayaan yang dipimpin oleh Guru Si Baso (dukun) agar tendi tadi segera kembali kepada manusia yang bersangkutan. Jika tendi terlalu lama pergi, dipercaya bahwa kematian akan menimpa manusia tersebut. Mereka juga percaya bahwa jika manusia sudah meninggal maka tendi akan menjadi begu atau arwah.
Banyak upacara ritual yang dilakukan oleh mereka yang ditujukan untuk keselamatan, kebahagiaan hidup, dan ketenangan berpikir. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara kepercayaan menghadapi bahaya paceklik, menanam padi, menghadapi mimpi buruk, maju menuju medan perang, memasuki rumah baru, menghadapi kelahiran anak, kematian, menyucikan hati dan pikiran, dan lain lain. Di semua kegiatan ritual ini peranan para dukun atau Guru Si Baso tersebut cukup besar.
Mereka yang berkepercayaan demikian itu lazim disebut sebagai perbegu atau sipelbegu. Tapi terlepas dari maksud pihak luar dengan penamaan istilah tersebut di atas, yang secara kasar dapat diartikan sebagai penyembah setan atau berhala, mereka menyatakan bahwa mereka percaya adanya Dibata yang menjadikan segala yang ada dan bahwa ada tenaga gaib atauu kekuatan maha dasyat darinya yang mampu berbuat apa saja menurut kehendaknya. Kalaupun ada dilakukan upacara ritual berupa persembahan, maka persembahan itu maksudnya adalah kepada Dibata tadi, hanya saja penyalurannya dilakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan.
Dengan demikian, pada perkumpulan desa di mana penduduk selalu berada dalam alam fikiran dan kepercayaan tersebut, para warga selalu merasa ada hubungan dengan roh keluarga yang sudah meninggal dunia, terutama nenek moyang yang mereka hormati sebagai pendahulu mereka, pendiri desa, pelindung adat istiadat. Mereka juga percaya bahwa pada kebajikan roh-roh tersebut akan menentukan keselamatan anak cucu mereka.[6]



BAB IV
PENGARUH NEGATIF AGAMA SUKU KARO SERTA LANGKAH-LANGKAH MENGANTISIPASI DAN PENANGGULANGANNYA
A.      Pengaruh Negatif Agama Suku Karo
Meski sekarang ini rakyat Karo telah resmi memeluk agama-agama seperti Katholik, Protestan, maupun Islam, kadang-kadang masih juga ditemui adanya penyimpangan-penyimpangan misalnya terlalu terikat kepada kepercayaan tradisionalnya. Agama-agama Katholik, Protestan, dan Islam telah dipeluk oleh rakyat Karo tersebut sebenarnya juga membawa perbedaan terhadap cara berpikir di antara rakyat Karo. Akan tetapi, sekarang ini keakraban dan kekeluargaan di antara masyarakat Karo tetap terpelihara dan tidak tergoyahkan karena masyarakat Karo masih berpegang pada adat istiadat berlandaskan Daliken Si Telu dan Tutur Si Waluh yang meski tertulis secara resmi namun merupakan pengikat bagi pola hidup sehari-hari anggota-anggota masyarakat.
Sampai saat ini pun masih banyak orang Karo yang walupun gaya hidupnya sudah modern, tetapi masih mengikuti ritual-ritual untuk mencari tahu solusi setiap persolan yang dihadapinya (entah itu jodoh, pekerjaan, dan sebagainya). Fenomena ritual ini dapat kita saksikan pada setiap wari cukera dudu (salah satu hari dalam kalender Karo) di kaki gunung Sibayak, tepatnya di lokasi pemandian air panas “Lau debuk-debuk
Gereja sering kali kewalahan dalam menyeimbangi kepercayaan jemaat antara kepercayaan kepeda Tuhan atau kepada roh leluhur (agama suku). Banyak jemaat karo yang telah masuk kedalam satu gereja atau satu dedominasi gereja hanya sebagai simbol belaka, kepercayaan jemaat masih dibentengi oleh adat istiadat dan juga keyakinan akan agama lama. Tidak dapat dipungkiri bahwa asyarakat karo memilki sistem kekerabata yang sangat kuat, sehingga ketika satu orang memutuskan untuk meninggalkan kepercayaan dulu menuju kekepercayaan kepada Tuhan akan terasa berat. Tuntutan dari keluarga dan kerabat yang mengharuskan masyarakat karo yang sudah memilki agama resmi sekalipun harus melakukan adat dan ritual keagaman suku karo dulu. Hal ini mengakibatkan iman kepercayaan masyarakat karo sulit untuk dibangkitkan dan dipupuk, karena mereka masih berpegang teguh kepada ajaran dan ritual keagamaan kuno suku karo.
Beberapa pengaruh negatif agama suku :
1.     Walaupun masyarakat karo sudah menganut salah satu agama dari 6 agama yang diakui negara, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sikap hidup masyarakat karo masih sama dan melakukan ritual-ritual seperti halnya penganut agama suku karo.
2.     Masih percaya akan adanya hari sial, sehingga orang karo walaupun sudah diajarkan tetang suatu ajaran agama akan kembali melakukan ritual buang sial (erpangir) seperti biasa mereka lakukan.
3.     Masyarakat karo masih percaya kepada begu yang dapat memberikan keselamatn bagi anak cucu mereka sehingga mereka masih sering memberikan sesajen ke tempat-tempat keramat dan kekuburan-kuburan yang mereka yakini tempat berdiam begu yang mereka sembah. Sekalipun mereka telah menerima ajaran dari satu agama tertentu.
4.     Masyarakat karo masih memepercayai begu yang menjadi sumber berkat bagi mereka (begu jabu) yang memebrikan kerukunan, berkat materi, kesehatan kepada mereka, walaupun mereka sudah ke gereja.
5.     Konsep daligen sitelu dalam sistem kekerabatan suku karo menjadi sangat kuat dalam kehidupan orang karo. Bahkan pandangan yang menganggap bahwa kalimbubu adalah Dibata Ni Idah (yang menganggap kalimbubu sebagai tuhan yang kelihatan, sumber berkat) sangat mempengaruhi penghormatan masyarakat karo terhadap Tuhan yang maka Esa.
6.     Sering kali masyarakat karo secara tidak sadar atau bahkan sadar memasukkan unsur penyembahan berhala kedalam liturgi ibadah.

B.      Langkah – langkah mengantisipasinya
1.       Berikan pengajaran yang jelas kepada jemaat/masyarakat karo menegani adat-istiadat yang salah. Misalnya seperti erpangir ku lau (ritual buang sial), menyembah begu jabu (yang memberi kedamaian dalam keluarga), dan penyembahan berhala yang lainnya.
2.       Berikan pengajaran tentang bahaya penyembahan berhala. Tugas mengantisipasi dampak-dampak atau pengaruh-pengaruh negatif ini adalah pekerjaan kita bersama, dan ini merupakan sutu tindakan yang membutuhkan kerja sama para hamba-hamba Tuhan dalam memberikan pelayanan serta pengajaran yang tepat mengenai bahaya penyembahan berhala.
3.       Yakinkan masyarakat karo dengan pengajaran-pengajaran yang akan membuat mereka sadar. Seringkali masyarakat karo yang terlanjur berpegang teguh kepada ajaran nenek moyang mereka tidak mau lagi melepaskan kebudayaan/adat istiadat itu walaupun hanya sedikit. Tetapi dengan memberikan berbagi pengertian dan pengajaran kepada masyarakat karo maka akan membuat mereka semakin mengerti bagaiman sebenarnya mengikut Tuhan, yang notabenenya harus meninggalkan adat yang bertentangan dengan firman Tuhan.
C.      Langkah-langkah Penanggulangannya
1.       Masyarakat yang sudah terlanjur terikat terhadap peneymabahan berhala, ataupun agama suku/kepercayaan sukunya, maka harus dilakukan pelepasan terlebih dahulu untuk memutuskan tali penghubung antara keterikatan pengajaran agama suku karo dengan masyarakat karo tersebut.
2.       Beritakan firman kepada orang-orang yang masih terikat adat- istiadat nenek moyang yang bertentangan dengan firman Tuhan, agar mereka segera sadar dan bertobat.
3.       Berikan pengajaran dan pengertian kepada masyarakat yang telah melepaskan keterikatan mereka dengan penyembahan berhala (agama sukunya) agar mereka tidak kemabali kepada kehidupan yang semula.




BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Masyarakat karo memiliki banyak sekali kebudayaan dalam adat istiadat/tradisi mereka. Suku karo dikatan suku yang berdiri sendiri, karena suku karo tidak ingin disamakan dengan suku batak. Ada banyak kepercayaan suku karo sebelum mereka mengenal firman Tuhan, sehingga kepercayaan itu tidak dapat mereka lepaskan begitu saja, bahkan ketika mereka sudah menganut suatu agama tertentu. Kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang yang dianggap menyelamatkan anak cucunya kelak sangat dipuja dan disembah oleh masyarakat karo. Mereka juga menyembah banyak jenis begu yang dipercayai akan memberikan mereka kekayaan, kerukunan, kedamaian dalam kehidupan mereka.
Meski sekarang ini rakyat Karo telah resmi memeluk agama-agama seperti Katholik, Protestan, maupun Islam, kadang-kadang masih juga ditemui adanya penyimpangan-penyimpangan misalnya terlalu terikat kepada kepercayaan tradisionalnya. Agama-agama Katholik, Protestan, dan Islam telah dipeluk oleh rakyat Karo tersebut sebenarnya juga membawa perbedaan terhadap cara berpikir di antara rakyat Karo. Akan tetapi, sekarang ini keakraban dan kekeluargaan di antara masyarakat Karo tetap terpelihara dan tidak tergoyahkan karena masyarakat Karo masih berpegang pada adat istiadat berlandaskan Daliken Si Telu dan Tutur Si Waluh yang meski tertulis secara resmi namun merupakan pengikat bagi pola hidup sehari-hari anggota-anggota masyarakat.
                Hal ini sangat berdampak negatif terhadap iman kepercayaan masyarakat karo, sehingga dibututuhkan cara-cara dalam mengantisipasi dan menanggulangi pengaruh negatif tersebut.



[1] http://Suku Karo – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
[2]http://MAKALAH SUKU KARO_rozanafajrina.htm
[3] http://Suku Karo – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
[4]http://Makalah Ilmu Kebudayaan Batak Karo.htm
[5]http://Pemena-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
[6] http://suku karo, suku yang toleransi terhadap agama _ Fahri0910821001's Blog.htm