BAB
I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Penyebaran injil
yang tidak dapat terbendung lagi, menjadikan banyak orang berusaha untuk masuk
kedalam suku-suku bangsa untuk meneybarkan kabar baik tersebut. Suku-suku
bangsa yang notabenenya menyimpan banyak misteri dalam aliran kepercayaan
mereka masing-masing sesuai dengan apa yang masyarakat yakini.
Sistem
kepercayaan yang dimiliki oleh satu daerah (satu suku) berbeda dengan
kepercayaan dari suku/daerah yang lainnya. Hal ini yang menjadikan para
penyebar injil harus fokus dalam mengetahui apa sebenarnya yang menjadi sistem
kepercayaan dari satu daerah/suku tertentu, serta kita juga harus mengetahui
apa sebenarnya pengaryh dari sistem kepercayaan (agama) dari suatu daerah.
Tak dapat
dipungkiri bahwa suatu daerah khususnya tanah karo (suku karo) memiliki suatu
kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat tersebut. Apa yang menjadi
kepercayaan dari masyarakat tersebut dipengaruhi oleh mitos-mitos yang terdapat
di daerah tersebut. Suku karo adalah suku yang memilki banyak sekali sistem
dalam adat istiadat yang ada, dalam sistem kepercayaan suku karo juga memiliki
kepercayaan mereka sendiri. Tujuan dari semuanya itu adalah untuk menjadikan
masyarakat karo hidup teratur, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan
oleh adat. Pengaruh dari keprcayaan tersebut bisa saja berdampak negatif.
Dalam bab
selanjutnya penulis akan membahas sistem kepercayaan suku karo, pengaruh
negatif dari agama suku karo serta langkah-langkah mengantisipasinya dan
penanggulangannnya.
BAB
II
SEJARAH
SUKU KARO DAN KEBUDAYAAN SUKU KARO
A.
Suku
Karo
Suku Karo adalah salah satu suku bangsa yang mendiami Dataran
Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Suku ini merupakan salah
satu suku terbesar dalam Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu
nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo)
yaitu Tanah Karo. Suku ini memiliki bahasa
sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian
adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.
Karo
dianggap sebagai bagian dari suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak
Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak
Karo. Namun kebanyakan masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka bukanlah
bagian dari kekerabatan Batak tersebut, tetapi Karo adalah suku yang berdiri
sendiri.[1]
B.
Sejarah Suku Karo
Kerajaan
Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui
secara pasti kapan berdirinya. Namun, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo
dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada
kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang
berasal dari suku Karo.
Kerajaan
Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang
dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya,
pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.
Terdapat
suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan
suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya
"Aceh Sepanjang Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh
Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak
mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya
"Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh
Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya
disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur
dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman"
mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian
berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus.
Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan
suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak
tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang
suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan
sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut
kaum empat ratus.
C.
Sistem
Kekerabatan Suku Karo
Suku karo berdomisili di sumatera
utara tepatnya di kresidenan sumatera utara pada jaman dahulu. Masyarakat karo
menganut kekerabatan parental dan bilateral. Maksudnya, mereka mengikuti garis
keturunan ayah. Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo, baik
berdasarkan pertalian darah maupun pertalian karena hubungan perkawinan, dapat
disatukan dari tiga jenis kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak, dan anak beru, yang biasanya disimpulkan
dalam banyak istilah tetapi maksudnya sama yaitu daliken sitelu. Secara
etimologis, daliken sitelu ini berarti tungku yang tiga (daliken = batu tungku,
si = yang, telu= tiga). Maksudnya adalah di kehidupan masyarakat karo ini pasti
mereka tidak terlepas dari yang namanya tengku untuk menyalakan api (memasak).
Sistem kekerabatan ini akan terlihat sama ketika kita melihat sistem kekrabatan
suku batak toba. Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya
bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut.
Hubungan
antara ketiganya tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat, dilihat dari
aspek-aspek kehidupan secara mendalam, hubungan dari ketiga kekerabatan ini
menentukan hak-hak dan kewajiban di dalam masyarakat, di dalam upacara-upacara,
hukum, dan di zaman yang lampau dan mempunyai arti yang penting di dalam
kehidupan ekonomi dan politik. Di dalam sangkep si telu inilah terletak azas
gotong-royong, dan musyawarah dalam arti kata yang sedalam-dalamnya.Setiap
anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik
sebagai kalimbubu,senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi
dan kondisi saat itu.
1.
Kalimbubu
Kalimbubu adalah kelompok pihak
pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo.
Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat
sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti
hati kalimbubu sangat dicela.
Kalau dahulu pada acara jamuan
makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama,
para anakberu (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani
mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga
bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup
piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati
dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan
kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus
dihormati, perihal dilaksanakan atau tidak masalah lain.
2.
Anak Beru
Anak beru adalah pihak pengambil
anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Oleh Darwan
Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan
peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena
bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah
mendamaikan perselisihan tersebut.
3.
Senina/Sembuyak
Hubungan perkerabatan senina
disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan.
Senina ini dapat dibagi dua :
Senina ini dapat dibagi dua :
a. Senina
berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena satu clan
(merga).
b. Senina
berdasarkan kekerabatan
-
Senina Siparibanen, perkerabatan
karena istri saling bersaudara.
-
Senina Sepemeren, mereka yang
berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka
mempunyai bebere (beru (clan) ibu) yang sama.
-
Senina Sepengalon
(Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan
berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu
subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya
hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan
memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.
-
Senina Secimbangen (untuk
wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka sesubclan (bersembuyak).[2]
D.
Marga
Suku Karo memiliki sistem
kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga
silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga
disebut untuk laki-laki, sedangkan
untuk perempuan yang
disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang
nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok,
yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:
- Karo-karo:
Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu,
Sinuraya, Sinuhaji, Ketaren, dll. (berjumlah 18)
- Tarigan:
Bondong, Ganagana, Gerneng, Purba, Sibero, dll. (berjumlah 13)
- Ginting:
Munthe, Saragih, Suka, Ajartambun, Jadibata, Manik, dll. (berjumlah 16)
- Sembiring: Sembiring
si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko,
Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken
biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari,
Meliala, Pelawi, dll. (berjumlah 15)
- Perangin-angin:
Bangun, Sukatendel, Kacinambun, Perbesi, Sebayang, Pinem, Sinurat, dll.
(berjumlah 18)
Keterangan:
Total semua submerga adalah 84.
Kelima merga
ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah
satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah.
Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama,
dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau
laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga
antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut
juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang
bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan
perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada
yang dapat menikah di antara mereka.[3]
E.
Kegiatan adat Suku Batak Karo
Selain perkawinan ada juga kegiatan
adat Batak Karo yang selalu diadakan minimal 1 tahun sekali, baik upacara besar
atau upacara kecil. Kebanyakan upacara yang ada memakan waktu yang cukup lama
dan juga biaya yang cukup mahal, karena perlengkapan yang harus disediakan dan
persembahan yang biasanya menggunakan binatang-binatang besar seperti sapi,
dll. Namun ada juga upacra memakan waktu singkat dan biaya kecil karena
menggunkan binatang ber kaki 2 seperti ayam dan bebek, Beberapa Kegiatan adat
antara lain,
Kegiatan Adat suku Batak Karo
1. Merdang
merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro
aron".
2.
Mahpah = "kerja tahun"
yang disertai "Gendang guro-guro aron".
3.
Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki
rumah (adat - ibadat) baru.
4.
Mbesur-mbesuri -
"Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
5.
Ndilo Udan - memanggil hujan.
6.
Rebu-rebu - mirip pesta "kerja
tahun".
7.
Ngumbung - hari jeda
"aron" (kumpulan pekerja di desa).
8.
Erpangir Ku Lau - penyucian diri
(untuk membuang sial).
9.
Raleng Tendi - "Ngicik
Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut
secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
10.
Motong Rambai - Pesta kecil keluarga
- handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan
tidak rapi.
11.
Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara
keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere
atau dari Bibi ke Permain).
12.
Ngaloken Rawit - Upacara keluarga
pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa
permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.
13. Upacara Upa
Tendi
Upa secara bahasa diartikan
pemberian. Sedangkan secara istilah adalah suatu ritual yang dilakukan oleh
orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa agar memperoleh
kebaikan. Kata Upa ini senada dengan kata Upah- upah, Mangupa dan Pangupa yang
arti dan maksudnya juga sama yaitu berhajat dan mendoakan orang yang di upa-
upakan.
Sedangkan Tendi adalah jiwa atau roh
seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada
manusia. Tendi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi
meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal,
maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
14. Upacara
Ritual Geriten
Pada masyarakat Karo dahulu, setelah
orang meninggal, tidak langsung dikebumikan tetapi diadakan upacara adat
kematiannya untuk menghormati jenazahnya. Jenazah dimakamkan disuatu tempat
untuk sementara. Setelah beberapa tahun lamanya, makam digali kembali untuk
mengambil tulang-tulangnya dan dikumpulkan dan kemudian dimakamkan di sebuah
rumah yang disebut Geriten.
Ritual kuno dari suku Batak Karo
merupakan tradisi suci yang sudah diterapkan berabad-abad lalu. Pada saat
penggalian kubur dilakukan upacara adat yang disebut nurun-nurun (upacara
kematian). Keluarga suku kembali ke kuburan leluhur mereka. Ritual
dilakukan dengan menggali kembali kuburan, mengambil seluruh kerangka,
membersihkan kerangka dengan wewangian (terdiri dari air kelapa,jeruk nipis,
kapur dan rempah-rempah) sebelum meletakkannya dalam peti mati baru dan
menempatkannya di Geriten.
ritual ini dilakukan sebagai penghormatan dan
kasih sayang kepada leluhur mereka. Tulang belulang dikeluarkan dari kuburan
lama kemudian dipindahkan ke kuburan baru untuk menaikkan status dari leluhur mereka.
Setelah kerangka diatur dalam peti itu kemudian ditempatkan ke dalam ‘rumah
tengkorak’ yang dibangun khusus untuk acara keluarga dan berdoa bagi tulang.
Jefri menjelaskan: “Ini adalah ritual yang sangat langka. Penghapusan tulang
dari kuburan tua dilakukan untuk nenek moyang kehormatan dengan tindakan kasih.
Tulang-tulang dikeluarkan dari kuburan yang telah ada waktu yang lama dan
pindah ke sebuah kuburan baru, lebih baik. Ini adalah cara untuk menaikkan
status dari nenek moyang.
15. Upacara
Erpangir Ku Lau
Erpangir ku lau dilakukan
dikarenakan oleh beberapa hal, misalnya :Buang sial, yaitu untuk membuang
hal-hal yang dianggap membawa dampak tidak baik dalam diri seseorang. Meminta
kesembuhan penyakit, seseorang yang dihinggapi satu penyakit diyakini sebagai
penyakit yang dibuat oleh manusia lain lewat perantaraan makhluk-makhluk halus,
atau bias jadi karena makhlus halus itu sendiri (begu). Untuk penyembuhan salah
satu cara pengobatan adalah dengan melakukan ritual erpangir ku lau;Menabalkan
seseorang menjadi guru. Proses menjadi seorang guru juga harus melalui proses
erpangir. Oleh sebab itu seseorang menjadi guru harus ditabalkan atau
ditahbiskan dengan cara ipangiri oleh seorang guru juga.Permintaan begu
singarak-ngarak seseorang. Seseorang yang mempunyai begu jabu biasa akan
diurasi atau dibersihkan dari hal-hal yang tidak baik, caranya adalah dengan
erpangir. Pembersihkan diri dari yang kotor, dll.
Biasanya pihak keluarga yang ingin melakukan erpangir
ku lau adalah karena ada pirasat (gerek) dari seseorang bahwa ada yang tidak
beres dalam tubuhnya.
Selain jenis-jenis upacara tersebut
dilakukan dengan melibatkan anggota masyarakat, dalam masyarakat Karo juga
biasa juga dikenal erpangir secara pribadi-pribadi. Erpangir jenis ini biasanya
karena seseorang mempunyai keahlian khusus dalam berbagai bidang, misalnya
sebagai sierjabaten (pemusik tradisional), lit pemetehna (ahli dalam bidang
pengobatan, meramal, dan sebagainya). Jenis erpangir seperti ini tidak
melibatkan unsur orang banyak, tetapi tergantung kepada hubungan
individu-individu dengan roh yang menyatu dengan dirinya. Biasanya ditandai
dengan gerek atau pertanda, bahwa roh yang melekat dalam diri seseorang
memintanya untuk melakukan mandi ritual tersebut. Lokasi dan tempatnya biasanya
sudah dipahami oleh masing-masing individu yang mempunyai kecakapan khusus
tentang itu. Hal seperti ini biasanya disampaikan juga lewat nipi (mimpi).
Orang yang erpangir seperti ini
biasa juga mandi ketika wari belah purnama raya, yaitu pada hari-hari ketika
bulan purnama. Waktunya biasa dilakukan pada malam hari dan sendirian di sebuah
sungai atau di tempat pemandian umum pada malam hari. Hal ini untuk menghindari
proses erpangir tersebut agar tidak diganggu oleh orang lain.
Erpangir jenis ini maknanya
membersihkan diri dari hal-hal yang kotor yang dianggap tidak berkenan bagi roh
pengikutnya yang dilakukan oleh individu tersebut selama ini. Jika tidak
dilakukan pembersihan atau erpangir, maka diyakini roh-roh tersebut akan
semakin jauh.[4]
BAB III
AGAMA SUKU
KARO
A. Kepercayaan
1.
Agama Pemena
Pemena adalah kepercayaan ataupun agama suku masyarakat suku Karo. Pemena, dalam Bahasa Karo,
memiliki arti pertama atau yang awal. Pemena memiliki makna kepercayaan yang
pertama, yang dipegang dan dipahami oleh orang Karo.
a)
Sejarah
Suku Karo merupakan percampuran dari
ras Proto
Melayu
dengan ras Negroid (negrito). Percampuran ini disebut umang. Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah
yang menikah dengan putri umang. Umang
tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan
umang di beberapa tempat. Pada abad
pertama setelah masehi, terjadi migrasi orang India Selatan ke Indonesia
termasuk ke Sumatera. Mereka beragama Hindu. Mereka
memperkenalkan aksara Sansekerta, Pallawa, dan ajaran dalam agama
Hindu. Pada abad kelima, terjadi pula
gelombang migrasi india yang memperkenalkan agama Buddha dan tulisan Nagari. Tulisan Nagari akan menjadi
cikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno.
Orang-orang
dari India Selatan yang datang ke Tanah Karo memperkenalkan ajaran Pemena. Pemena berarti pertama, yang
artinya kepercayaan awal orang Karo. Mereka juga mengajarkan beberapa aksara,
yang kemudian menjadi aksara Karo. Akhirnya, orang-orang Karo mulai mengenal
agama ini dan menganutnya.
b)
Ajaran-Ajaran
-
Dibata
Masyarakat
Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat
dilihat maupun yang tak dapat dilihat, adalah merupakan ciptaan Dibata.
Ada tiga pemahaman dibata menurut orang Karo, yakni:
- Dibata
Datas. Dibata Datas disebut juga Guru
Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa).
- Dibata Tengah.
Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah yang
menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
- Dibata
Teruh. Dibata Teruh juga disebut Tuhan
Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah bumi.
Selain
itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu sinar mataniari (sinar
matahari) dan si Beru Dayang. Sinar Mataniari adalah simbol cahaya dan
penerangan. Ia berada saat matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti
perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Siberu dayang
adalah seorang perempuan yang tinggal di bulan. Si beru dayang sering kelihatan
dalam pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak
digoncangkan angin topan.
-
Manusia
Manusia dalam kepercayaan
masyarakat Karo terdiri dari:
- Tendi
(jiwa)
- Begu (Roh orang yang sudah
meninggal, Hantu)
- Kula (Tubuh)
Ketika
seseorang meninggal, maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur. Namun,
begu tetap ada. Tendi dengan tubuh merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi
berpisah dengan tubuh, maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan
mengadakan pemanggilan tendi.Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah
kematian.
Orang
Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik
dalam alam semesta mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang
mencakup segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari alam
semesta. Setiap manusia dianggap sebagai semesta kecil. Manusia merupakan
kesatuan dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah
(nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan
ini disebut sebagai `keseimbangan dalam manusia'.
Daya
pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan
dalam dengan keseimbangan luar.Bentuk pemahaman ini menggambarkan manusia
sebagai semesta besar.Manusia merupakan kesatuan dari dunia gaib, kesatuan
sosial, dan lingkungan alam sekitar.Hal ini menunjukkan suatu pandangan bahwa
keseimbangan dalam semesta kecil tidak akan sempurna tanpa tercapainya suatu
keseimbangan "alam semesta secara luas.Oleh karena itu, banyak orang Karo
melakukan acara-acara adat dengan tujuan mencapai keseimbangan pada diri
manusia.[5]
2.
Sipelebegu
Dalam hal alam pemikiran
dan kepercayaan, orang Karo (yang belum memeluk agama Islam atau Kristen)
erkiniteken (percaya)
akan adanya Dibata
(Tuhan) sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia.
Dibata ini disembah agar
manusia mendapatkan keselamatan, jauh dari marabahaya dan mendapatkan
kelimpahan rezeki. Mereka pun percaya adanya tenaga gaib yaitu berupa kekuatan
yang berkedudukan di batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung, gua, atau
tempat-tempat lain. Tempat inilah yang dikeramatkan. Dan apabila tenaga gaib yang
merupakan kekuatan perkasa dari maha pencipta, dalam hal ini Dibata yang menguasai baik alam
raya/langit, dunia/bumi, atapun di dalam tanah disembah maka permintaan akan
terkabul. Karena itu masyarakat yang berkepercayaan demikian melakukan berbagai
variasi untuk melakukan penyembahan.
Mereka juga percaya
bahwa roh manusia yang masih hidup yang dinamakan “Tendi“,
sewaktu-waktu bisa meninggalkan jasad/badan manusia. Kalau hal itu terjadi maka
diadakan upacara kepercayaan yang dipimpin oleh Guru Si Baso (dukun)
agar tendi tadi segera kembali kepada manusia yang bersangkutan. Jika tendi
terlalu lama pergi, dipercaya bahwa kematian akan menimpa manusia
tersebut. Mereka juga percaya bahwa jika manusia sudah meninggal maka tendi
akan menjadi begu atau arwah.
Banyak upacara ritual
yang dilakukan oleh mereka yang ditujukan untuk keselamatan, kebahagiaan hidup,
dan ketenangan berpikir. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara
kepercayaan menghadapi bahaya paceklik, menanam padi, menghadapi mimpi buruk,
maju menuju medan perang, memasuki rumah baru, menghadapi kelahiran anak,
kematian, menyucikan hati dan pikiran, dan lain lain. Di semua kegiatan ritual
ini peranan para dukun atau Guru Si Baso tersebut cukup besar.
Mereka yang
berkepercayaan demikian itu lazim disebut sebagai perbegu atau sipelbegu.
Tapi terlepas dari maksud pihak luar dengan penamaan istilah tersebut di atas,
yang secara kasar dapat diartikan sebagai penyembah setan atau berhala, mereka
menyatakan bahwa mereka percaya adanya Dibata yang menjadikan segala yang ada dan bahwa ada tenaga
gaib atauu kekuatan maha dasyat darinya yang mampu berbuat apa saja menurut
kehendaknya. Kalaupun ada dilakukan upacara ritual berupa persembahan, maka
persembahan itu maksudnya adalah kepada Dibata tadi, hanya saja
penyalurannya dilakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan.
Dengan demikian, pada
perkumpulan desa di mana penduduk selalu berada dalam alam fikiran dan
kepercayaan tersebut, para warga selalu merasa ada hubungan dengan roh keluarga
yang sudah meninggal dunia, terutama nenek moyang yang mereka hormati sebagai
pendahulu mereka, pendiri desa, pelindung adat istiadat. Mereka juga percaya
bahwa pada kebajikan roh-roh tersebut akan menentukan keselamatan anak cucu mereka.[6]
BAB IV
PENGARUH
NEGATIF AGAMA SUKU KARO SERTA LANGKAH-LANGKAH MENGANTISIPASI DAN
PENANGGULANGANNYA
A. Pengaruh Negatif Agama Suku Karo
Meski sekarang ini
rakyat Karo telah resmi memeluk agama-agama seperti Katholik, Protestan, maupun
Islam, kadang-kadang masih juga ditemui adanya penyimpangan-penyimpangan
misalnya terlalu terikat kepada kepercayaan tradisionalnya. Agama-agama
Katholik, Protestan, dan Islam telah dipeluk oleh rakyat Karo tersebut
sebenarnya juga membawa perbedaan terhadap cara berpikir di antara rakyat Karo.
Akan tetapi, sekarang ini keakraban dan kekeluargaan di antara masyarakat Karo
tetap terpelihara dan tidak tergoyahkan karena masyarakat Karo masih berpegang
pada adat istiadat berlandaskan Daliken Si Telu dan Tutur
Si Waluh yang meski tertulis secara resmi namun merupakan pengikat bagi
pola hidup sehari-hari anggota-anggota masyarakat.
Sampai saat ini
pun masih banyak orang Karo yang walupun gaya hidupnya sudah modern, tetapi
masih mengikuti ritual-ritual untuk mencari tahu solusi setiap persolan yang
dihadapinya (entah itu jodoh, pekerjaan, dan sebagainya). Fenomena ritual ini
dapat kita saksikan pada setiap wari cukera dudu (salah satu hari
dalam kalender Karo) di kaki gunung Sibayak, tepatnya di lokasi pemandian air
panas “Lau debuk-debuk
Gereja
sering kali kewalahan dalam menyeimbangi kepercayaan jemaat antara kepercayaan
kepeda Tuhan atau kepada roh leluhur (agama suku). Banyak jemaat karo yang
telah masuk kedalam satu gereja atau satu dedominasi gereja hanya sebagai
simbol belaka, kepercayaan jemaat masih dibentengi oleh adat istiadat dan juga keyakinan
akan agama lama. Tidak dapat dipungkiri bahwa asyarakat karo memilki sistem
kekerabata yang sangat kuat, sehingga ketika satu orang memutuskan untuk
meninggalkan kepercayaan dulu menuju kekepercayaan kepada Tuhan akan terasa
berat. Tuntutan dari keluarga dan kerabat yang mengharuskan masyarakat karo
yang sudah memilki agama resmi sekalipun harus melakukan adat dan ritual
keagaman suku karo dulu. Hal ini mengakibatkan iman kepercayaan masyarakat karo
sulit untuk dibangkitkan dan dipupuk, karena mereka masih berpegang teguh
kepada ajaran dan ritual keagamaan kuno suku karo.
Beberapa pengaruh
negatif agama suku :
1. Walaupun
masyarakat karo sudah menganut salah satu agama dari 6 agama yang diakui
negara, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sikap hidup masyarakat karo masih
sama dan melakukan ritual-ritual seperti halnya penganut agama suku karo.
2. Masih
percaya akan adanya hari sial, sehingga orang karo walaupun sudah diajarkan
tetang suatu ajaran agama akan kembali melakukan ritual buang sial (erpangir)
seperti biasa mereka lakukan.
3. Masyarakat
karo masih percaya kepada begu yang dapat memberikan keselamatn bagi anak cucu
mereka sehingga mereka masih sering memberikan sesajen ke tempat-tempat keramat
dan kekuburan-kuburan yang mereka yakini tempat berdiam begu yang mereka
sembah. Sekalipun mereka telah menerima ajaran dari satu agama tertentu.
4. Masyarakat
karo masih memepercayai begu yang menjadi sumber berkat bagi mereka (begu jabu)
yang memebrikan kerukunan, berkat materi, kesehatan kepada mereka, walaupun
mereka sudah ke gereja.
5. Konsep
daligen sitelu dalam sistem kekerabatan suku karo menjadi sangat kuat dalam
kehidupan orang karo. Bahkan pandangan yang menganggap bahwa kalimbubu adalah
Dibata Ni Idah (yang menganggap kalimbubu sebagai tuhan yang kelihatan, sumber
berkat) sangat mempengaruhi penghormatan masyarakat karo terhadap Tuhan yang
maka Esa.
6. Sering
kali masyarakat karo secara tidak sadar atau bahkan sadar memasukkan unsur
penyembahan berhala kedalam liturgi ibadah.
B.
Langkah
– langkah mengantisipasinya
1. Berikan
pengajaran yang jelas kepada jemaat/masyarakat karo menegani adat-istiadat yang
salah. Misalnya seperti erpangir ku lau (ritual buang sial), menyembah begu
jabu (yang memberi kedamaian dalam keluarga), dan penyembahan berhala yang
lainnya.
2. Berikan
pengajaran tentang bahaya penyembahan berhala. Tugas mengantisipasi dampak-dampak
atau pengaruh-pengaruh negatif ini adalah pekerjaan kita bersama, dan ini
merupakan sutu tindakan yang membutuhkan kerja sama para hamba-hamba Tuhan
dalam memberikan pelayanan serta pengajaran yang tepat mengenai bahaya
penyembahan berhala.
3. Yakinkan
masyarakat karo dengan pengajaran-pengajaran yang akan membuat mereka sadar.
Seringkali masyarakat karo yang terlanjur berpegang teguh kepada ajaran nenek
moyang mereka tidak mau lagi melepaskan kebudayaan/adat istiadat itu walaupun
hanya sedikit. Tetapi dengan memberikan berbagi pengertian dan pengajaran
kepada masyarakat karo maka akan membuat mereka semakin mengerti bagaiman
sebenarnya mengikut Tuhan, yang notabenenya harus meninggalkan adat yang
bertentangan dengan firman Tuhan.
C.
Langkah-langkah
Penanggulangannya
1. Masyarakat
yang sudah terlanjur terikat terhadap peneymabahan berhala, ataupun agama
suku/kepercayaan sukunya, maka harus dilakukan pelepasan terlebih dahulu untuk
memutuskan tali penghubung antara keterikatan pengajaran agama suku karo dengan
masyarakat karo tersebut.
2. Beritakan
firman kepada orang-orang yang masih terikat adat- istiadat nenek moyang yang
bertentangan dengan firman Tuhan, agar mereka segera sadar dan bertobat.
3. Berikan
pengajaran dan pengertian kepada masyarakat yang telah melepaskan keterikatan
mereka dengan penyembahan berhala (agama sukunya) agar mereka tidak kemabali
kepada kehidupan yang semula.
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Masyarakat karo
memiliki banyak sekali kebudayaan dalam adat istiadat/tradisi mereka. Suku karo
dikatan suku yang berdiri sendiri, karena suku karo tidak ingin disamakan
dengan suku batak. Ada banyak kepercayaan suku karo sebelum mereka mengenal
firman Tuhan, sehingga kepercayaan itu tidak dapat mereka lepaskan begitu saja,
bahkan ketika mereka sudah menganut suatu agama tertentu. Kepercayaan terhadap
roh-roh nenek moyang yang dianggap menyelamatkan anak cucunya kelak sangat
dipuja dan disembah oleh masyarakat karo. Mereka juga menyembah banyak jenis
begu yang dipercayai akan memberikan mereka kekayaan, kerukunan, kedamaian
dalam kehidupan mereka.
Meski
sekarang ini rakyat Karo telah resmi memeluk agama-agama seperti Katholik,
Protestan, maupun Islam, kadang-kadang masih juga ditemui adanya
penyimpangan-penyimpangan misalnya terlalu terikat kepada kepercayaan
tradisionalnya. Agama-agama Katholik, Protestan, dan Islam telah dipeluk oleh
rakyat Karo tersebut sebenarnya juga membawa perbedaan terhadap cara berpikir
di antara rakyat Karo. Akan tetapi, sekarang ini keakraban dan kekeluargaan di
antara masyarakat Karo tetap terpelihara dan tidak tergoyahkan karena
masyarakat Karo masih berpegang pada adat istiadat berlandaskan Daliken Si Telu dan Tutur
Si Waluh yang meski tertulis secara resmi namun merupakan pengikat
bagi pola hidup sehari-hari anggota-anggota masyarakat.
Hal ini sangat berdampak negatif terhadap iman
kepercayaan masyarakat karo, sehingga dibututuhkan cara-cara dalam
mengantisipasi dan menanggulangi pengaruh negatif tersebut.
[1] http://Suku Karo – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
[2]http://MAKALAH SUKU KARO_rozanafajrina.htm
[3] http://Suku Karo – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
[4]http://Makalah Ilmu Kebudayaan Batak Karo.htm
[5]http://Pemena-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
[6] http://suku karo, suku yang toleransi terhadap agama _
Fahri0910821001's Blog.htm